Pandangan Preterist Mengenai Nubuat Dalam Injil

Pandangan Preterist Mengenai Nubuat Dalam Injil

Dalam diskusi teologi Kristen, nubuat selalu menjadi topik yang menarik, khususnya yang berkaitan dengan akhir zaman. Banyak orang menganggap nubuat sebagai ramalan masa depan yang menunggu digenapi. Namun, pandangan preterist membawa pendekatan yang berbeda. Bagi mereka, sebagian besar nubuat dalam Injil sudah digenapi, terutama dalam konteks sejarah abad pertama. Lalu bagaimana sebenarnya pandangan preterist terhadap nubuat-nubuat dalam Injil?

Makna kata “preterist” dalam konteks nubuat

Istilah preterist berasal dari kata Latin praeter, yang berarti “telah lewat” atau “masa lalu.” Dalam konteks penafsiran Alkitab, preterism adalah pandangan bahwa sebagian besar nubuat Alkitab—khususnya nubuat Yesus dalam Injil—telah digenapi di masa lampau, tepatnya pada abad pertama, saat Yerusalem dihancurkan oleh tentara Romawi pada tahun 70 M.

Pandangan ini berbeda dengan futurisme, yang melihat nubuat sebagai janji yang belum terjadi dan akan digenapi menjelang akhir zaman. Sementara preterist berpendapat bahwa Yesus menubuatkan peristiwa yang akan terjadi dalam waktu dekat bagi para pendengarnya pada saat itu—bukan bagi generasi modern ribuan tahun kemudian.

Penafsiran terhadap Matius 24 dan Lukas 21

Salah satu bagian yang sering dikutip preterist adalah Matius 24. Dalam pasal ini, Yesus menyampaikan nubuat kepada murid-murid-Nya tentang kehancuran Bait Suci, munculnya penyesat, bencana alam, dan penderitaan besar.

Preterist menafsirkan bahwa seluruh bagian ini mengacu pada peristiwa nyata yang terjadi di abad pertama, terutama kehancuran Yerusalem. Poin penting dalam pandangan ini adalah bahwa nubuat itu ditujukan kepada generasi yang hidup saat itu, bukan kepada generasi modern.

Yesus bahkan secara eksplisit mengatakan, “Sesungguhnya angkatan ini tidak akan berlalu sebelum semuanya ini terjadi” (Matius 24:34). Bagi preterist, ini adalah penegasan bahwa konteks nubuat tersebut harus dibaca dalam batas waktu yang dekat dengan kehidupan para murid.

Demikian pula dalam Lukas 21, Yesus menyebutkan tentang tentara mengepung Yerusalem dan tanda-tanda penderitaan besar yang akan datang. Preterist melihat hal ini sebagai referensi langsung terhadap invasi Romawi yang menewaskan dan membuang ribuan orang Yahudi, serta menghancurkan Bait Suci.

Pembedaan antara simbol dan kenyataan historis

Preterist tidak menafsirkan semuanya secara harfiah. Banyak elemen dalam nubuat Yesus yang dipahami secara simbolis, menggunakan gaya bahasa apokaliptik khas sastra Yahudi. Misalnya, matahari yang menjadi gelap atau bintang-bintang yang jatuh tidak diartikan secara fisik, tetapi sebagai simbol runtuhnya struktur kekuasaan dan agama yang ada saat itu.

Pendekatan simbolik ini tidak dimaksudkan untuk mengaburkan makna nubuat, tetapi justru mengakui cara komunikasi Yesus kepada audiens Yahudi-Nya. Dengan menggunakan simbol-simbol yang mereka kenal dari kitab-kitab nabi, Yesus menyampaikan bahwa zaman lama sedang mendekati akhirnya—bukan dalam arti akhir dunia, tetapi akhir dari sistem ibadah lama yang berpusat di Yerusalem.

Konsekuensi teologis dari penafsiran preterist

Dengan memaknai nubuat sebagai sesuatu yang telah digenapi, preterism membawa dampak teologis yang signifikan. Bagi para penganutnya, pesan utama dari nubuat bukan untuk menakuti atau membuat orang fokus pada spekulasi akhir zaman, tetapi untuk menegaskan keandalan perkataan Kristus dan penggenapan janji-Nya.

Hal ini juga menyoroti pentingnya membaca Alkitab dalam konteks historis, bukan sekadar menerapkannya pada situasi masa kini tanpa mempertimbangkan kepada siapa pesan itu pertama kali ditujukan.

Pandangan preterist terhadap nubuat dalam Injil memberi kita cara baru dalam memahami pesan Yesus. Dengan menempatkan nubuat dalam kerangka waktu dan sejarah yang sesuai, kita tidak hanya melihat betapa akuratnya pengajaran-Nya, tetapi juga dapat menghargai betapa relevan dan mendesaknya pesan itu bagi para pendengar aslinya.

Alih-alih menunggu tanda-tanda akhir zaman, preterism mendorong kita untuk melihat bahwa banyak hal yang dinubuatkan telah terjadi. Tugas kita sekarang adalah hidup dalam terang kegenapan itu—membangun iman, bukan dalam ketakutan, tapi dalam keyakinan akan Firman yang telah terbukti benar.

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *