Preterism adalah salah satu pendekatan dalam menafsirkan nubuat-nubuat Alkitab, khususnya yang berkaitan dengan akhir zaman. Sayangnya, istilah ini sering kali menimbulkan kebingungan atau bahkan penolakan dari sebagian umat Kristen. Banyak yang menganggap preterism sebagai pandangan yang menolak Kedatangan Kristus atau akhir zaman yang sebenarnya. Tapi benarkah demikian?
Salah paham terhadap preterism sering kali terjadi karena kombinasi antara kurangnya pemahaman sejarah gereja, dominasi narasi futuristik, dan penyajian yang tidak proporsional. Untuk memahami mengapa pandangan ini kerap disalahpahami, kita perlu menelusuri beberapa penyebab utamanya.
Kurangnya pemahaman konteks sejarah
Preterism menekankan bahwa banyak nubuat dalam Alkitab telah digenapi, khususnya pada abad pertama. Misalnya, dalam Matius 24, ketika Yesus berbicara tentang kehancuran Bait Allah, preterist meyakini bahwa nubuat itu terpenuhi dalam peristiwa runtuhnya Yerusalem pada tahun 70 M.
Namun, banyak orang Kristen tidak terlalu mengenal latar belakang sejarah ini. Akibatnya, mereka cenderung memahami nubuat secara futuristik dan mengharapkan penggenapannya di masa depan. Ketika preterism mengatakan bahwa sebagian besar nubuat telah terjadi, itu langsung dianggap tidak sesuai dengan pengajaran tradisional.
Fokus berlebihan pada pandangan futuristik
Di banyak gereja masa kini, pandangan futuristik sangat dominan. Nubuat-nubuat dalam Wahyu, Daniel, dan Injil sering dipahami sebagai peristiwa yang akan terjadi menjelang akhir zaman secara literal. Ini membuat segala pandangan alternatif, termasuk preterism, tampak menyimpang atau bahkan membingungkan.
Media populer juga turut memperkuat hal ini. Film, buku, dan khotbah-khotbah akhir zaman yang bombastis semakin memperkuat narasi bahwa kiamat adalah peristiwa fisik yang akan datang. Dalam konteks seperti ini, pendekatan preterist yang lebih historis dan simbolis dianggap kurang menarik atau bahkan salah.
Salah tafsir tentang Kedatangan Kristus
Poin yang paling sering menimbulkan kontroversi adalah pandangan preterist terhadap Kedatangan Kristus. Sebagian besar preterist percaya bahwa kedatangan tersebut bukanlah peristiwa fisik yang masih menunggu, melainkan telah terjadi secara rohaniah dan simbolis dalam konteks kehancuran Yerusalem.
Ini tentu saja bertolak belakang dengan pemahaman umum bahwa Yesus akan datang kembali secara fisik dari langit. Tanpa pemahaman konteks yang tepat, pernyataan seperti ini mudah disalahartikan sebagai penyangkalan terhadap iman Kristen, padahal tidak demikian.
Cara penyampaian yang kurang membumi
Beberapa preterist menyampaikan argumen mereka dengan pendekatan akademis atau terlalu teknis. Penjelasan tentang bahasa Yunani, struktur apokaliptik, atau sejarah Romawi memang penting, tapi bisa jadi membuat orang merasa asing atau bingung. Akibatnya, alih-alih memahami pesan utamanya, audiens justru menarik diri dan menolak keseluruhan gagasan.
Sebaliknya, jika preterism disampaikan dengan bahasa yang membumi, kontekstual, dan disertai perbandingan dengan pandangan lain secara bijak, akan lebih mudah diterima. Banyak orang sebenarnya terbuka untuk belajar, asal disajikan dengan cara yang tepat.
Minimnya ruang diskusi terbuka di gereja
Gereja lokal sering kali enggan membahas isu-isu teologis yang dianggap kontroversial. Eskatologi, atau doktrin tentang akhir zaman, termasuk dalam kategori yang sensitif. Karena itu, preterism jarang dibahas secara terbuka, apalagi diajarkan sebagai salah satu pendekatan yang sah.
Akibatnya, jemaat hanya mengenal satu sudut pandang dan menganggap itu sebagai satu-satunya kebenaran. Ketika mereka mendengar ada pandangan lain seperti preterism, respons yang muncul adalah penolakan otomatis.
Kesalahpahaman terhadap preterism tidak lepas dari keterbatasan informasi, dominasi satu tafsir, dan kurangnya ruang diskusi terbuka. Padahal, preterism berusaha membaca nubuat Alkitab dalam konteks sejarahnya, bukan meniadakan iman atau harapan akan masa depan. Justru melalui pendekatan ini, kita diajak melihat bagaimana firman Tuhan benar-benar hidup dan relevan bagi para pendengarnya pada saat itu.
Membuka pikiran terhadap beragam tafsir bukan berarti meninggalkan iman, melainkan memperdalam pemahaman kita terhadap Alkitab secara utuh. Preterism bisa menjadi pintu masuk yang berharga untuk itu.